Bangsa kita adalah bangsa maritim, slogan yang telah lama
didengungkan oleh para pendahulu kita yang berhasil membangun kejayaan
Indonesia pada zaman kerajaan. Kita harusnya bersyukur dan bangga dengan
potensi pulau-pulau keciil dan luas lautan dari sabang-marauke yang begitu
indah dengan segala potensi yang ada. Namun dibalik potensi itu terselip makna
yang sangat memilukan tentang semakin berurangya minat anak muda yang ingin
menjadi nelayan, tak ada lagi anak muda yang bangga bahwa mereka ingin menjadi
nelayan mereka malu dan berkata ‘ Malu Aku Menjadi Nelayan”
***
Matahari baru saja muncul dari timur menyinari alam dan laut
yang begitu indah disebuah desa pesisir Zaenuddin bersiap siap berangkat
kesekolah, didepan rumah dipingiir pantai dia menumui bapaknya yang sedang
memperbaiki perahu dan jaringya untuk persiapan malam hari mencari ikan,
zaenuddin pamitan kebapaknya dengan mencium tanganya sang bapak berkata dan
berdoa “ semoga jadi anak yang sukses jangan seperti bapak yang hanya bisa jadi
nelayan “
Saya sempat sedih mendengar pesan pesan dan doa orang tua
zaenuddin yang berkata “ semoga jadi anak yang sukses jangan seperti bapak yang
hanya bisa jadi nelayan “ perkataan ini seolah-olah menjadi nelayan sebagai
pilihan paling terburuk diantara banyak pekerjaan dan profesi yang ada. Ada
rasa malu dan minder ketika dirinya hanya seorang nelayan sehingga kemudian
timbul pesan-pesan kepada anaknya semoga menjadi anak yang sukses dan
mendaptkan pekerjaan yang lebih baik.
Persitiwa tentang Zaenuddin adalah persitiwa yang harus
menjadi catatan bagi pemerintah, cerita ini saya saksikan disebuah desa nelayan
di pulau kecil di Sulawesi selatan didalam perjalanan mengunjungi pulau pulau
kecil di selat Makassar terdapat fakta-fakta yang sungguh sangat memprihatinkan
disepanjang deretan pulau-pulau yang terpencil terdapat kemiskinan kemiskinan
nelayan, ironis ketika kemudian ikan yang ditangkap oleh nelayan kemudian
dijual kepasar dengan harga yang sangat murah.para rentenir dan mafia harga
yang menyulitkan nelayan hingga menghisap yang mengakibatkan semakin
tertinggalnya dan dimiskinkanya nelayan kita.
Selain itu fakta yang sangat memprihatinkan adalah Kepala BPS mengungkapkan, ada sejumlah catatan di
sektor perikanan seperti penurunan drastis jumlah nelayan tradisional. Menurut
survei BPS hasil sensus 2003-2013, jumlah nelayan tradisional turun dari 1,6
juta menjadi 864 ribu rumah tangga. Darai data tersebut jumlah nelayan usia tua
lebih banyak disbanding usia muda sehingga data ini memberikan fakta bahwa
tidak adanya lagi minat generasi muda untuk menjadi nelayan entah itu
disebabkan dari lingkungan keluarga nelayan itu sendiri atau memang
keberpihakan pemerintah dalam menghadirkan kebijakan kebijakan untuk
kesejahteraan nelayan sangat kurang. Oleh sebab itu data dan fakta ini harus
menjadi rujukan kebijakan pemerintah agar kita bangsa maritim tidak
meninggalkan lautan.
Namun tidak tepat jika hanya menyoroti Zaenuddin dan bapaknya saja,
mereka benar jika kemudian berkata “ jika anak saya menjadi nelayan maka tidak
ada peningkatan dari kelurga” aplagi saat saat zaman sekarang siapa sih anak
muda yang igin menjadi nelayan ? yang
hidupnya miskin susah tak berpendidkan kalaupun ada pasti satu sampai dua orang
itupun ingin menjadi nelayan atau pengusaha disektor perikanan nah tentunya
beda dengan nelayan. Pmerintah mestinya tersentuh hatinya atas perstiwa ini.
***
Kita masih mengingat visi misi Jokowi-Jk yang ingin membangun
Indonesia sebagai poros maritim dunia, tentunya visi misi ini bukan hanya
sebatas tulisan diatas kertas dan meja para menterinya akan tetapi lebih kepada
bagimana menjadi sebuah kerja nyata dalam mewujudkanya kita tak mungkin
menunggu janji jani saja kita membutuhkan bukti dan kebijakan baru agar nelayan
nelayan yang tadinya miskin menjadi lebih sejahtera,bermartbat dan tentunya
tidak dimarginalkan dinegerinya sendiri.
Dikalangan nelayan disebut sebagai salah satu kantong kelompok kemiskinan di
Indonesia. Berdasarkan data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011
mencatat jumlah nelayan miskin di Indonesia mencapai 7,87 juta
atau sekitar 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai
31,02 juta orang.bisa kita bayangkan besarnya jumlah kemiskinan yang terdapat
dikalangan profesi nelayan.
Didepan mata persoalan nelayan semakin memprihatinkan ketika
banyak anak muda yang kemudian tidak ingin lagi menjadi nelayan dan lebih
memilih menjadi tenaga buruh dikota-kota besar, terlibih lagi persoalan nelayan
belum mendapat perhatian dan keberpihakan kebijakan pemerintah yang terjadi
adalah : (1) .semakin berkurangya SDM yang produktif (2).tidak tersedianya
jaminan akses modal (3). Tidak tersedianya jaminan akses pasar (4) sarana
inrastuktur yang tidak memadai (5).tidak tersedia teknologi yang memadai. Jika
hal ini terus terjadi maka akan menjadi bencana atas ketersedian pangan.
Dibalik semua itu seluruh rakyat Indonesia harusnya bersyukur
memiliki individu individu nelayan yang berjuang ditengah ganasnya gelombang
hanya untuk mencari ikan yang menjadi tumpuan seluruh anak bangsa sebagai bahan
pangan dan sumber protein. Sungguh sangat ironis ketika nasib nelayan tak
seindah dengan birunya laut dan indahnya terumbu karang.tak sebanding dengan
berapa generasi muda cerdas yang dilahirkan seperti BJ.Habibie.
Saya teringat dengan pidato Presiden pertama RI Soekarno
dalam pidato di tahun 1953 menegaskan, “Usahakanlah agar kita menjadi bangsa
pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar
menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata
cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut
yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut
menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.” Kata-kata Bung Karno ini seolah
menjadi pemacu semangat pemerintahan baru untuk “kembali” ke laut.
Jakarta 1 Muharram 1437 H. (IW)