Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No
2/Permen-KP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela
(trawl) dan pukat tarik (seine nets) di seluruh wilayah pengelolaan perikanan
Indonesia telah meletupkan berbagai pro kontra. Berdasarkan permen itu
dijelaskan jenis pukat hela (trawl)
yang dilarang antara lain pukat hela dasar (bottom
trawls), pukat hela pertengahan (midwater
trawls), pukat hela kembar berpapan (otter
twin trawls) dan pukat dorong serta pukat udang. Kemudian pukat tarik yang
dilarang adalah pukat tarik pantai (beach
seines), dan pukat tarik berkapal (boat
or vessel seines) yang meliputi payang, pair seines, cantrang dan lampara
dasar. Kebijakan peraturan menteri ini dilakukan semata untuk melestarikan
sumberdaya perikanan dan keberlanjutan masa depan penangkapan di Indonesia.
Namun di lain pihak seperti pengusaha trawl tentu “mematikan” sumber
penghidupan dan mau tak mau harus memPHK nelayan buruh yang menjadi penggerak
usahanya. Seperti yang diungkap oleh Ketua Umum HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia) Yussuf Solichien menyatakan bahwa tidak semua alat tangkap jenis
trawl merusak lingkungan. Seperti jenis trawl teri tradisional yang
dipergunakan di Sumatera Utara yang tetap memegang teguh kearifan lokal
sehingga tidak menganggu kelestarian sumberdaya ikan. Selain itu , penggunaan alat
tangkap jenis beach seines selama ini memang benar – benar dilakukan oleh
nelayan kecil yang tidak memiliki armada dan alat tangkap ikan yang memadai.
Lantas bagaimanakah nasib mereka?
Tindakan tegas Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) melalui Permen KP No 2/2015 tersebut didasarkan pada
Keppres Nomor 39 tahun 1980, keluhan nelayan akan sulitnya mencari ikan serta tidak
adanya tindakan tegas terhadap penggunaan trawl yang merugikan. Penerapan
Permen KKP tersebut berimbas pada kehilangan lapangan pekerjaan bagi nelayan yang
menggantungkan hidup pada trawl. Memang selama ini, trawl dikenal sebagai alat
tangkap ikan yang efisien namun juga merupakan “buldoser” laut yang siap
menyapu apapun yang ada termasuk merusak terumbu karang dan berbagai jenis ikan
yang tidak layak tangkap. Imbas dari diberlakukan Permen KP No 2/2015 dengan
menyita dan memusnahkan serta memberikan hukuman bagi pemilik alat tangkap
trawl dan seine nets.
Kebijakan
Permen tersebut memang dinilai membabi buta tanpa memperhatikan kepentingan
masyarakat nelayan, karena memberikan larangan penggunaan alat tangkap tak
ramah lingkungan (trawl dan seine nets) namun tidak memberikan solusi tepat dan
bermanfaat khususnya alat tangkap yang ramah lingkungan. Seharusnya sebelum
memutuskan menerbitkan dan menerapkan Permen pelarangan penggunaan trawl dan
seine nets, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah memiliki solusi alat
tangkap yang ramah lingkungan dan mampu menggantikan peran dari kedua alat
tangkap tersebut. Setelah itu, baru dilakukan sosialisasi menyeluruh kepada
pengusaha dan nelayan pengguna alat tangkap trawl dan seine nets untuk beralih
kepada alat tangkap yang ramah lingkungan. Selanjutnya, setelah melalui proses
sosialisasi yang cukup dan berjangka waktu barulah terbit permen pelarangan
penggunaan trawl dan seine nets. Selain itu, untuk mengantisipasi adanya
pengangguran nelayan dengan mempersiapkan progam pengalihan profesi seperti
menjadi pembudidaya ikan dan pengolah hasil perikanan.
Dari
aspek partisipasi peraturan menteri kelautan dan perikanan ini sangat
disayangkan sebab sepanjang sejarah kementerian kelautan dan perikanan ini baru
pertama kali sebuah peraturan di terbitkan tanpa ada sosialisasi dan tanpa
adanya pelibatan asosiasi atau pemangku kepentingan, baik itu nelayan,pengusaha
ataupun para akademisi, meskipun dari aspek lingkungan bagus namun bukan
berarti pemerintah dalam hal ini KKP seenaknya saja membuat kebijakan tanpa
pelibatan masyrakat perikanan, kehadiran pemerintah seharusnya menjadi jembatan
menuju kesejahteraan dan perbaikan bukan malah membabi buta dan otoriter
membuat kebijakan tanpa ada solusi yang baik.
Jambi
2 Maret 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar