Oleh : Indar Wijaya Sekjen HIMAPIKANI
Perjalanan saya dan kawan-kawan USNI menuju Kepulauan Seribu bermula di titik Pelabuhan Muara Angke. Pelabuhan Muara Angke yang terletak di Jakarta Utara tampak sibuk dengan aktivitas pelabuhan seperti kepadatan penumpang kapal dan kegiatan perikanan. Tampak nyata akibat aktivitas di areal pelabuhan Muara Angke membawa dampak negatif bagi perairan pesisir seperti pencemaran. Kesan kumuh begiu melekat di benak saya,yang sepertinya dimaklumi oleh masyarakat. Perjalanan menggunakan kapal kayu mesin ditempuh selama 4 jam perjalanan. Transit di Pulau Harapan menuju pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu.
Foto ; Suasana pelabuhan Muara Angke di pagi Hari
Pemandangan khas pantai tropis menyambut kedatangan kami. Nyiur kelapa melambai,teriknya pantulan sinar matahari dan surga bawah laut yang eskotik. Membuat perjalanan saya yang cukup panjang terbayarkan dengan keindahan yang membentang. Pulau Melinjo, Pulau Genteng dan Pulau Perak menjadi tujuan petualangan kami selama 2 hari. Namun yang mencengangkan ternyata ada informasi yang menyebutkan bahwa adanya pulau di Kepulauan Seribu yang dikontrakkan ke warga negara asing.
Foto : Suasana Upacara Bendera di Pulau Perak LKP USNI HIAMAPIKANI
Ingatan saya kembali pada Pulau Bidadari-NTT yang dijual di website www.privateislandsonline.com. Berita tersebut membuat pemerintah kelabakan. Bagaimana bisa pulau dijual di internet? Ternyata setelah ditelusuri pulau tidak dijual tapi disewakan/dikontrak. Sewa tersebut dilakukan oleh Badan Nasional Penanaman Modal Daerah (BNPMD) NTT selama 30 tahun kepada warga negara Inggris. Penyewa berhak mengelola sektor pariwisata seperti pengadaan resort dan fasilitas penunjang.
Kasus yang terjadi di Kepulauan Seribu hampir sama. Adanya pemberian hak sewa pulau kepada warga negara asing. Padahal tegas Menteri Kelautan dan Perikanan menyatakan “kalau investasi dilakukan oleh asing dan dalam negeri harus sepengetahuan dan disetujui pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), katanya”. Dia mengatakan, investor dari luar negeri maupun dalam negeri jika membeli tanpa surat yang benar, maka tentunya tidak berani. Selama KKP tidak memberikan izin, maka notaris,gubernur dan bupati tidak akan berani menjual pulau tersebut, katanya. Dikuatkan lagi oleh peraturan Tidak adanya penjualan pulau di Indonesia merujuk ke Undang-Undang (UU) 27 nomor2007 sebagai dasar dari pengelolaan pesisir kemudian ada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 62 tahun 2010, Peraturan Menteri (Permen) 20 tahun 2008 terkait pemanfataan dan pengelolaan pulau-pulau kecil.
Kenapa hal ini masih saja terjadi? Dengan potensi pariwisata bahari,memang menarik investor asing untuk menanamkan modal. Tingginya kunjungan wisatawan domestik dan wisatawan asing membuat mereka tak ragu menanamkan modal yang pasti akan balik modal. Namun jelas sudah bahwa harus diketahui dan disetujui oleh KKP. Lantas? Siapa dan bagaimana hal ini bisa terjadi? Entah bagaimana nasib pulau-pulau kecil dan terluar Indonesia akankah nasibnya menjadi barang dagangan di internet? Bukankah hal tersebut sama artinya dengan menjual hak kedaulatan berbangsa. Sungguh ironi.
Jakarta 14 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar