Selamat Datang di Blog Kampung Nelayan

Nelayan, Pengusaha dan Ibu Susi (Menyambut Hari Nelayan 6 April 2015 )

Nelayan

            Mengupas problematika kehidupan nelayan tidak pernah ada habisnya.Isu kesejahteraan dan kesenjangan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan menjadi fakta yang terpampang jelas. Pemukiman kumuh, fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan ketiadaan jaminan penghidupan yang lebih baik.Urat nadi kehidupan nelayan sangat bergantung pada nilai jual hasil tangkap, biaya melaut serta kondisi alam. Semakin tinggi jumlah hasil tangkapan yang didapat, kondisi cuaca untuk melaut memadai dan keterjangkauan membeli logistik melaut akan sangat berpengaruh pada pendapatan nelayan. kenyataan di lapangan  sangat jauh dari harapan pendapatan nelayan yang didapat tidak pernah sepadan dengan kebutuhan hidup yang tinggi. Kemiskinan nelayan bukan hanya tentang persoalan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan dan papan), namun juga harus memandang aspek social dan politik. Ketimpangan sosial ekonomi yang dirasakan nelayan sebagai akibat dari kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam sejak Indonesia merdeka setiap kebijakan tak begitu berpengaruh dari kahidupan nelayan yang miskin, persoalan lain adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia utamanya masyarakat nelayan menjadikan tidak berkembangnya potensi–potensi di kawasan pesisir. Selain itu rendahnya SDM  berpengaruh juga pada pemahaman dan cara berpikir  untuk mengelola sumberdaya perikanan yang merusak dan tidak berkelanjutan, Hanya berpikir pemenuhan kebutuhan hari ini, Seperti penggunaan bom ikan, dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Bagaimana mungkin, mereka berpikir untuk menggunakan alat tangkap ramah lingkungan sedangkan masih banyak “nelayan kaya” lainnya sekehendak hatinya mengeruk ikan dengan alat tangkap yang lebih modern. Mereka seakan “dipaksa” terbiasa untuk hidup berhutang akibat system monopoli perdagangan yang masih didominasi tengkulak akibat tak efektifnya keberadaan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan rendahnya akses permodalan untuk nelayan. Pergolakan kehidupan nelayan semakin diperparah dengan kerusakan ekosistem pesisir dan laut, keterbatasan teknologi penangkapan, ketimpangan akses terhadap sumberdaya perikanan serta lemahnya proteksi kebijakan pemerintah. Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan sesungguhnya ada tiga permasalahan pokok yang menjadi problematika nelayan yang harus dieselasikan pemerintah  yaitu segi ekonomi dalam hal menghilangkan ktergantungan dari tengkulak dan akses permodalan bagi nelayan dipermudah, sedangan aspek sosial dan pendidikan jaminan penghidupan, kesehatan dan pendidikan untuk anak nelayan  dan ketiga adanya kebijakan kebijakan  politik yang strategis baik berupa UU atau Permen yang total berpihak pada nelayan.
PENGUSAHA
Bukan hanya nelayan sebagai tokoh utama, pengusaha yang bergelut di sektor perikanan berperan penting dalam menggerakkan pembangunan perikanan. Seperti GAPPINDO (Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia) menjadi wadah bagi asosiasi di berbagai sektor perikanan untuk bersama–sama memperjuangkan peningkatan usaha. GAPPINDO sebagai pelaku di bidang perikanan diharapkan mampu terlibat dalam mengelola sumberdaya perikanan. Tanggung jawab pengelolaan sumberdaya perikanan tidak hanya dibebankan pada pemerintah namun juga bersinergi dengan para pelaku usaha. Seperti halnya dalam perikanan budidaya permasalahan tingginya harga pellet (pakan ikan) yang menyisakan sedikit keuntungan bagi pembudidaya mendapatkan win-win solution. Seperti Pendekatan Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada Asosiasi Pakan Ikan (API), dengan menurunkan harga pellet Rp. 1.000/kg tiap bulan selama 3 bulan guna mendukung percepatan usaha perikanan budidaya. Bentuk bentuk sinergi seperti itu diharapkan terulang kembali bukan hanya disektor budidaya akan tetapi semua sector termasuk  tangkap dan pengolahan hasil perikanan.


Ibu Susi dan KKP
Seperti yang dikutip KKP, sektor perikanan menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan dalam lima bulan terakhir. Berpatokan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Desembert ahun 2014, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sector perikanan menjadi 8,9 persen. Nilai tersebut diatas rata – rata PDB Nasional yang hanya berada pada level 5,01 persen di periode yang sama. Selain itu, meningkatnya Nilai Tukar Nelayan (NTN) dari 105,48 menjadi 106,72 pada bulan Januari – Februari 2015. Hal ini disinyalir dari kuatnya komitmen dan penanganan pemerintah dalam menindak tegas pelaku IUU (Illegal, Unreported and Unregulated) Fishing. Memang patut diakui, sejak era tampuk kepemimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan dinahkodai oleh Ibu Susi Pudjiastuti , sektor perikanan tak lagi menjadi anak tiri. Bahkan untuk APBN untuk KKP naik dari Rp 6,61 T menjadi 10 T. Anggaran terbesar dalam sejarah sejak didirikannya KKP. Kini sector perikanan menjadi berita “prime time” bagi media televisi, cetak maupun elektronik. Tak hanya itu fenomena Ibu Susi Pudjiastuti, telah melahirkan banyak judul buku yang mengupas sisi kehidupan sang pengusaha dari Pangandaran ini.
Berbagai kebijakan controversial telah melambungkan nama perikanan dan sosok ibu menteri seperti kebijakan moratorium perihal perizinan usaha tangkap ikan untuk kapal asing di perairan Indonesia dengan kapasitas 30 GT. Bagi kapal asing yang melanggar dan terang – terangan mencuri ikan, dipastikan ditembak dan ditenggelamkan kapal pencuri ikan itu. Lari tunggang langganglah para pelaku IUU Fishing dariperairan Republik Indonesia. Mungkin ngeri dengan kebijakan ditembak, ditenggelamkan dan dipidanakan. Tindakan tegas KKP dalam moratorium usaha tangkap kapal asing dilatarbelakangi dari kerugian negaraa kibat IUU Fishing sebesar 20 miliar USD/tahun. Apalagi jika diselaraskan dengan visi misi pemerintahan Jokowi – JK untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Tentu kedaulatan Indonesia patut ditegakkan terutama dari pelaku illegal fishing. Seperti tagline KKP “Laut adalah Masa Depan  Kita”.
Kebijakan controversial lainnya yaitu pelarangan penangkapan lobster, rajungan dan kepiting tertuang pada Peraturan Menteri (Permen) nomor 1 tahun 2015. Memang jika ditinjau dari segi keberlanjutan spesies, kegiatan untuk memilih dan melepaskan kembali ketiga spesies itu terutama pertimbangan ukuran dan sedang bertelur sangat baik untuk dijalankan. Namun menimbulkan pergolakan bagi sebagaian masyarakat nelayan yang hidup bergantung dari lobster, kepiting dan rajungan. Belumlagi protes dari para pengusaha restoran yang menjajakan hidangan seafood bertelur yang berpotensi menurunkan pendapatan meraka.
Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan paling spektakuler adalah pelarangan alat tangkap cantrang yang tertuang padaPeraturan Menteri (Permen) nomor 2 tahun 2015.Cantrang/pukatharimau/dogol merupakan alat tangkap yang dinilai merusak sumberdaya alam dan berdampak buruk bagi kehidupan social dan ekonomi masyarakat nelayan. Pemberlakuan pelarangan cantrang memantik gelombang demonstrasi ribuan nelayan dari berbagai daerah  didepan kantor KKP agaknya masih belum mampu melunakkan kebijakan tersebut. Bayangkan berapa ribu nelayan yang harus di PHK mendadak akibat tiadanya sosialiasasi maupun tindakan pengalihan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan.Seperti yang dipaparkan KIARA solusi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menyelesaikan dampak pasca dilarangnya trawl dan pukat tarik, yakni penggunaan APBN-P 2015 untuk memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil. Lain halnya dengan pemaparan Bapak Rokhmin Dahuri sebagai mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yaitu pelarangan penggunaan jaring cantrang jangan diberlakukan di seluruh wilayah perairan Indonesia,  pemerintah harus memberikan alternative alat tangkap yang efisien sekaligus ramah lingkungan dan mendorong perbankan supaya member pinjaman kepada nelayan. 
            Melalui momentum hari nelayan 6 april 2015 ini dan Mengingat kompleksnya permasalahan perikanan, maka solusi terbaik adalah Nelayan, Pengusaha Dan Ibu Susi sebagai nahkoda KKP harus duduk bersama bersinergi untuk membangun perikanan, tidak saling menjatuhkan tetapi mengutamakan kepentingan pembangunan daripada ego sektoral dan pribadi. tidak ada lagi kebijakan yang sepihak dari pemerintah, dan tidak ada lagi pengusaha nakal yang mencuri ikan dan memperkaya diri sendiri hingga akhirnya nelayan akan sejahtera.

KARYA POPULER