Nelayan
Mengupas problematika kehidupan nelayan
tidak pernah ada habisnya.Isu kesejahteraan dan kesenjangan sosial ekonomi dalam
kehidupan masyarakat nelayan menjadi fakta yang terpampang jelas. Pemukiman kumuh,
fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan ketiadaan jaminan penghidupan yang
lebih baik.Urat nadi kehidupan nelayan sangat bergantung pada nilai jual hasil tangkap,
biaya melaut serta kondisi alam. Semakin tinggi jumlah hasil tangkapan yang
didapat, kondisi cuaca untuk melaut memadai dan keterjangkauan membeli logistik
melaut akan sangat berpengaruh pada pendapatan nelayan. kenyataan di lapangan sangat jauh dari harapan pendapatan nelayan
yang didapat tidak pernah sepadan dengan kebutuhan hidup yang tinggi. Kemiskinan
nelayan bukan hanya tentang persoalan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
(sandang, pangan dan papan), namun juga harus memandang aspek social dan politik.
Ketimpangan sosial ekonomi yang dirasakan nelayan sebagai akibat dari kebijakan
dalam pengelolaan sumberdaya alam sejak Indonesia merdeka setiap kebijakan tak
begitu berpengaruh dari kahidupan nelayan yang miskin, persoalan lain adalah rendahnya
kualitas sumberdaya manusia. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia utamanya masyarakat
nelayan menjadikan tidak berkembangnya potensi–potensi di kawasan pesisir. Selain
itu rendahnya SDM berpengaruh juga pada pemahaman
dan cara berpikir untuk mengelola sumberdaya
perikanan yang merusak dan tidak berkelanjutan, Hanya berpikir pemenuhan kebutuhan
hari ini, Seperti penggunaan bom ikan, dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Bagaimana mungkin, mereka berpikir untuk menggunakan alat tangkap ramah lingkungan
sedangkan masih banyak “nelayan kaya” lainnya sekehendak hatinya mengeruk ikan dengan
alat tangkap yang lebih modern. Mereka seakan “dipaksa” terbiasa untuk hidup berhutang
akibat system monopoli perdagangan yang masih didominasi tengkulak akibat tak efektifnya
keberadaan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan rendahnya akses permodalan untuk nelayan.
Pergolakan kehidupan nelayan semakin diperparah dengan kerusakan ekosistem pesisir
dan laut, keterbatasan teknologi penangkapan, ketimpangan akses terhadap sumberdaya
perikanan serta lemahnya proteksi kebijakan pemerintah. Dari pemaparan diatas,
dapat disimpulkan sesungguhnya ada tiga permasalahan pokok yang menjadi problematika
nelayan yang harus dieselasikan pemerintah yaitu segi ekonomi dalam hal menghilangkan
ktergantungan dari tengkulak dan akses permodalan bagi nelayan dipermudah, sedangan
aspek sosial dan pendidikan jaminan penghidupan, kesehatan dan pendidikan untuk
anak nelayan dan ketiga adanya kebijakan
kebijakan politik yang strategis baik
berupa UU atau Permen yang total berpihak pada nelayan.
PENGUSAHA
Bukan
hanya nelayan sebagai tokoh utama, pengusaha yang bergelut di sektor perikanan berperan
penting dalam menggerakkan pembangunan perikanan. Seperti GAPPINDO (Gabungan Pengusaha
Perikanan Indonesia) menjadi wadah bagi asosiasi di berbagai sektor perikanan untuk
bersama–sama memperjuangkan peningkatan usaha. GAPPINDO sebagai pelaku di
bidang perikanan diharapkan mampu terlibat dalam mengelola sumberdaya perikanan.
Tanggung jawab pengelolaan sumberdaya perikanan tidak hanya dibebankan pada pemerintah
namun juga bersinergi dengan para pelaku usaha. Seperti halnya dalam perikanan budidaya
permasalahan tingginya harga pellet (pakan ikan) yang menyisakan sedikit keuntungan
bagi pembudidaya mendapatkan win-win solution. Seperti Pendekatan Kementerian Kelautan
dan Perikanan kepada Asosiasi Pakan Ikan (API), dengan menurunkan harga pellet
Rp. 1.000/kg tiap bulan selama 3 bulan guna mendukung percepatan usaha perikanan
budidaya. Bentuk bentuk sinergi seperti itu diharapkan terulang kembali bukan
hanya disektor budidaya akan tetapi semua sector termasuk tangkap dan pengolahan hasil perikanan.
Ibu Susi dan KKP
Seperti
yang dikutip KKP, sektor perikanan menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan
dalam lima bulan terakhir. Berpatokan dari data Badan Pusat Statistik (BPS)
bulan Desembert ahun 2014, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sector perikanan
menjadi 8,9 persen. Nilai tersebut diatas rata – rata PDB Nasional yang hanya berada
pada level 5,01 persen di periode yang sama. Selain itu, meningkatnya Nilai Tukar
Nelayan (NTN) dari 105,48 menjadi 106,72 pada bulan Januari – Februari 2015. Hal
ini disinyalir dari kuatnya komitmen dan penanganan pemerintah dalam menindak tegas
pelaku IUU (Illegal, Unreported and Unregulated)
Fishing. Memang patut diakui, sejak era tampuk kepemimpinan Kementerian Kelautan
dan Perikanan dinahkodai oleh Ibu Susi Pudjiastuti , sektor perikanan tak lagi menjadi
anak tiri. Bahkan untuk APBN untuk KKP naik dari Rp 6,61 T menjadi 10 T. Anggaran
terbesar dalam sejarah sejak didirikannya KKP. Kini sector perikanan menjadi berita
“prime time” bagi media televisi, cetak maupun elektronik. Tak hanya itu fenomena
Ibu Susi Pudjiastuti, telah melahirkan banyak judul buku yang mengupas sisi kehidupan
sang pengusaha dari Pangandaran ini.
Berbagai
kebijakan controversial telah melambungkan nama perikanan dan sosok ibu menteri
seperti kebijakan moratorium perihal perizinan usaha tangkap ikan untuk kapal asing
di perairan Indonesia dengan kapasitas 30 GT. Bagi kapal asing yang melanggar dan
terang – terangan mencuri ikan, dipastikan ditembak dan ditenggelamkan kapal pencuri
ikan itu. Lari tunggang langganglah para pelaku IUU Fishing dariperairan Republik
Indonesia. Mungkin ngeri dengan kebijakan ditembak, ditenggelamkan dan dipidanakan.
Tindakan tegas KKP dalam moratorium usaha tangkap kapal asing dilatarbelakangi dari
kerugian negaraa kibat IUU Fishing sebesar 20 miliar USD/tahun. Apalagi jika diselaraskan
dengan visi misi pemerintahan Jokowi – JK untuk menjadikan Indonesia sebagai poros
maritim dunia. Tentu kedaulatan Indonesia patut ditegakkan terutama dari pelaku
illegal fishing. Seperti tagline KKP “Laut adalah Masa Depan Kita”.
Kebijakan
controversial lainnya yaitu pelarangan penangkapan lobster, rajungan dan kepiting
tertuang pada Peraturan
Menteri (Permen) nomor 1 tahun 2015. Memang jika ditinjau dari
segi keberlanjutan spesies, kegiatan untuk memilih dan melepaskan kembali ketiga
spesies itu terutama pertimbangan ukuran dan sedang bertelur sangat baik untuk dijalankan.
Namun menimbulkan pergolakan bagi sebagaian masyarakat nelayan yang hidup bergantung
dari lobster, kepiting dan rajungan. Belumlagi protes dari para pengusaha restoran
yang menjajakan hidangan seafood bertelur yang berpotensi menurunkan pendapatan
meraka.
Kebijakan
Menteri Kelautan dan Perikanan paling spektakuler adalah pelarangan alat tangkap
cantrang yang tertuang padaPeraturan Menteri (Permen) nomor 2 tahun 2015.Cantrang/pukatharimau/dogol
merupakan alat tangkap yang dinilai merusak sumberdaya alam dan berdampak buruk
bagi kehidupan social dan ekonomi masyarakat nelayan. Pemberlakuan pelarangan cantrang
memantik gelombang demonstrasi ribuan nelayan dari berbagai daerah didepan kantor KKP agaknya masih belum mampu melunakkan
kebijakan tersebut. Bayangkan berapa ribu nelayan yang harus di PHK mendadak akibat
tiadanya sosialiasasi maupun tindakan pengalihan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan.Seperti
yang dipaparkan KIARA solusi kepada Menteri
Kelautan dan Perikanan untuk menyelesaikan dampak pasca dilarangnya trawl dan pukat
tarik, yakni penggunaan APBN-P 2015 untuk memfasilitasi pengalihan alat tangkap
bagi nelayan kecil. Lain halnya dengan pemaparan Bapak Rokhmin Dahuri sebagai mantan
Menteri Kelautan dan Perikanan yaitu pelarangan penggunaan jaring cantrang jangan
diberlakukan di seluruh wilayah perairan Indonesia, pemerintah harus memberikan alternative alat tangkap
yang efisien sekaligus ramah lingkungan dan mendorong perbankan supaya member pinjaman
kepada nelayan.
Melalui
momentum hari nelayan 6 april 2015 ini dan
Mengingat kompleksnya permasalahan perikanan, maka solusi terbaik adalah Nelayan,
Pengusaha Dan Ibu Susi sebagai nahkoda KKP harus duduk bersama bersinergi untuk
membangun perikanan, tidak saling menjatuhkan tetapi mengutamakan kepentingan pembangunan
daripada ego sektoral dan pribadi. tidak ada lagi
kebijakan yang sepihak dari pemerintah, dan tidak ada lagi pengusaha nakal yang
mencuri ikan dan memperkaya diri sendiri hingga akhirnya nelayan akan
sejahtera.